“INI teh dari Nepal, ditanam di kaki Himalaya dan ini peta
rute trekking di Himalaya. Minum teh ini niscaya
kamu akan sampai di Himalaya hahahaha...”. Canda kawan saya, Pinta Helti suatu
sore di sebuah warung kopi kawasan Prawirotaman, Yogyakarta membuat saya
tersenyum kecut. Waktu itu dia baru saja melakukan perjalanan ke Himalaya tepatnya
di Annapurna Base Camp atau sering disebut ABC yang memiliki ketinggian 4.130
meter. Usai naik ke salah satu puncak di Himalaya ini dia menjelajah Nepal
dengan segala keeksotisannya.
Pinta Helti bersama kawannya dari Perancis saat mencapai ABC |
Kami sebenarnya belum lama berkenalan. Perjumpaan sebagai
peserta di Jogja International Heritage Walk (JIHW) yang membuat saya
mengenalnya lebih jauh. Di kegiatan jalan kaki yang diikuti ratusan pejalan
kaki dari berbagai negara ini kami sama-sama memilih jarak 20 kilometer per
hari dari jarak tempuh yang ditawarkan 5 kilometer, 10 kilometer dan 20
kilometer. Artinya, karena acara itu berlangsung selama dua hari berturut-turut,
kami sama-sama menempuh rute 40 kilometer.
Awalnya, saya melihat seseorang perempuan dengan celana
gunung berkantung di kanan kirinya memegang tongkat trekking, berkacamata gelap
dengan rambut disemir warna merah tengah cas cis cus dengan bule di sampingnya.
Mungkin kalah langkah dengan si bule yang tingginya seperti jerapah, perempuan
ini kemudian menjajari langkah saya yang
jalannya seperti keong.
Kami say hello, berkenalan dan sampailah pada alasan kenapa
ikut kegiatan ini. Tanpa perasaan berdosa kepada orang yang merasakan otot-oto
kakinya cenat-cenut, Pinta mengatakan ikut acara itu karena sedang melemaskan otot
kakinya. Dia baru naik ke kaki langit Himalaya dan menjelajah Nepal. Saat itu
juga saya melotot ke arahnya. Memandang ujung dari ujung kaki hingga ujung
kepala. Gila nih cewek. Serius?!
“Heeh, selama enam hari naik kemudian tiga hari turun, terus
jalan-jalan di Nepal.”
Pinta di salah satu rute menuju ABC |
Saya menelan ludah. Sepanjang perjalanan, ibu satu anak ini
menebarkan yang namanya racun melakukan sebuah perjalanan alias backpacker.
Apalagi setelah event JIHW dia membawa saya ke pertemuan Backpacker Indonesia
Chapter Yogyakarta, tempatnya bergabung jadi anggota.
Mendengar presentasi anggota mereka yang baru saja pulang
dari Filipina, Korea, kaki ini rasanya ingin menjejak-jejak tanah dan tangan
ini memukul-mukul tembok. Kemana saja saya selama ini!!!
Memang beberapa kali saya sempat ke luar negeri, Lebanon,
Malaysia, tapi itu tak jauh-jauh dari yang namanya urusan kantor. Kalaupun
berwisata, segala hal waktunya diatur ketat oleh penyelenggara. Pernah suatu
kali saat di Malaysia, baru saja memakai celana renang untuk mencoba sebuah
pantai buatan, pengumuman agar rombongan naik ke bus sudah berbunyi.
Mendengar pengalaman berbagai anggota Backpacker Indonesia
ini rasanya seperti ingin punya sayap dan terbang ke negara-negara yang pernah
mereka jelajah. Cara berwisata mereka nggak mainstream, lebih tepatnya
blusukan.
Ketua Backpacker Indonesia Chapter Yogyakarta Mba Indah
menjelaskan bahwa backpacker itu bukan berwisata dengan cara nekat. Bagi
mereka, backpacker itu adalah cara berwisata yang smart, cerdas. Merancang
jauh-jauh hari negara yang akan mereka tuju menjadi kunci untuk mendapatkan
tiket promo. Komunitas ini juga tidak memandang latar belakang anggotanya,
mulai dari orang tua, pekerja kantoran, ibu rumah tangga, mahasiswa, PNS semua
memiliki kegilaan yang sama untuk berwisata dan menjadi pemburu tiket murah.
Salah satu yang membuat kagum pada mereka, tidak perlu
menunggu kaya untuk bisa berwisata.
Kuncinya disiplin. Rata-rata mereka sudah menata keuangan mereka dengan cermat,
mana yang untuk keluarga, kebutuhan sehari-hari, dan tentu saja berwisata.
Tidak heran minimal setahun sekali mereka akan ke luar negeri.
Saya sedikit menyayangkan kenapa Pinta tidak menuliskan
berbagai kisah perjalanannya ke berbagai negara yang dilakukannya sejak tahun
2000-an untuk dimuat di media. “Ah saya tidak bisa menulis, lebih suka
bercerita.”
Akhirnya saya mengajarinya menulis untuk kemudian tulisannya
itu dimuat media massa. Kebetulan saja media yang membuat tulisannya adalah tempat
saya bekerja. Sampai sekitar satu bulan lalu dia SMS. “Gung tulisanku yang
pernah dimuat di koranmu dulu ada honornya ndak?”
“Ya jelas ada lah”
"Mau aku ambil, lagi gresek-gresek ki, untuk uang saku ke Jepang”
“Hah!?, kamu mau je Jepang”
“Iya lagi dapat tiket murah bingit, nanti aku bawakan peta
sana, biar kamu nanti ke Jepang.”
Oh men, saya memandangi peta Himalaya yang diberikan Pinta. Teh
yang diberikannya masih banyak dan aku simpan di toples kecil. Saya bersumpah
tidak akan menghabiskan teh tersebut sebelum membelinya sendiri di kaki
Himalaya sana.
Teh dari Nepal ini akan terus tersimpan sampai dapat gantinya |
Teh, peta, Himalaya dan AirAsia, kelihatannya memang bukan
saatnya lagi menjejak-jejak tanah. Saatnya melangkah. Jadi kapan ke Himalaya? Hmm..sepertinya
Air Asia yang tahu jawabannya.