Rabu, 27 Agustus 2014

Teh, Peta dan Himalaya




“INI teh dari Nepal, ditanam di kaki Himalaya dan ini peta rute trekking di Himalaya. Minum teh ini   niscaya kamu akan sampai di Himalaya hahahaha...”. Canda kawan saya, Pinta Helti suatu sore di sebuah warung kopi kawasan Prawirotaman, Yogyakarta membuat saya tersenyum kecut. Waktu itu dia baru saja melakukan perjalanan ke Himalaya tepatnya di Annapurna Base Camp atau sering disebut ABC yang memiliki ketinggian 4.130 meter. Usai naik ke salah satu puncak di Himalaya ini dia menjelajah Nepal dengan segala keeksotisannya.
Pinta Helti bersama kawannya dari Perancis saat mencapai ABC
Kami sebenarnya belum lama berkenalan. Perjumpaan sebagai peserta di Jogja International Heritage Walk (JIHW) yang membuat saya mengenalnya lebih jauh. Di kegiatan jalan kaki yang diikuti ratusan pejalan kaki dari berbagai negara ini kami sama-sama memilih jarak 20 kilometer per hari dari jarak tempuh yang ditawarkan 5 kilometer, 10 kilometer dan 20 kilometer. Artinya, karena acara itu berlangsung selama dua hari berturut-turut, kami sama-sama menempuh rute 40 kilometer. 

Awalnya, saya melihat seseorang perempuan dengan celana gunung berkantung di kanan kirinya memegang tongkat trekking, berkacamata gelap dengan rambut disemir warna merah tengah cas cis cus dengan bule di sampingnya. Mungkin kalah langkah dengan si bule yang tingginya seperti jerapah, perempuan ini kemudian  menjajari langkah saya yang jalannya seperti keong.

Kami say hello, berkenalan dan sampailah pada alasan kenapa ikut kegiatan ini. Tanpa perasaan berdosa kepada orang yang merasakan otot-oto kakinya cenat-cenut, Pinta mengatakan ikut acara itu karena sedang melemaskan otot kakinya. Dia baru naik ke kaki langit Himalaya dan menjelajah Nepal. Saat itu juga saya melotot ke arahnya. Memandang ujung dari ujung kaki hingga ujung kepala. Gila nih cewek. Serius?!
“Heeh, selama enam hari naik kemudian tiga hari turun, terus jalan-jalan di Nepal.”

Pinta di salah satu rute menuju ABC
Saya menelan ludah. Sepanjang perjalanan, ibu satu anak ini menebarkan yang namanya racun melakukan sebuah perjalanan alias backpacker. Apalagi setelah event JIHW dia membawa saya ke pertemuan Backpacker Indonesia Chapter Yogyakarta, tempatnya bergabung jadi anggota.

Mendengar presentasi anggota mereka yang baru saja pulang dari Filipina, Korea, kaki ini rasanya ingin menjejak-jejak tanah dan tangan ini memukul-mukul tembok. Kemana saja saya selama ini!!!
Memang beberapa kali saya sempat ke luar negeri, Lebanon, Malaysia, tapi itu tak jauh-jauh dari yang namanya urusan kantor. Kalaupun berwisata, segala hal waktunya diatur ketat oleh penyelenggara. Pernah suatu kali saat di Malaysia, baru saja memakai celana renang untuk mencoba sebuah pantai buatan, pengumuman agar rombongan naik ke bus sudah berbunyi.

Mendengar pengalaman berbagai anggota Backpacker Indonesia ini rasanya seperti ingin punya sayap dan terbang ke negara-negara yang pernah mereka jelajah. Cara berwisata mereka nggak mainstream, lebih tepatnya blusukan.

Ketua Backpacker Indonesia Chapter Yogyakarta Mba Indah menjelaskan bahwa backpacker itu bukan berwisata dengan cara nekat. Bagi mereka, backpacker itu adalah cara berwisata yang smart, cerdas. Merancang jauh-jauh hari negara yang akan mereka tuju menjadi kunci untuk mendapatkan tiket promo. Komunitas ini juga tidak memandang latar belakang anggotanya, mulai dari orang tua, pekerja kantoran, ibu rumah tangga, mahasiswa, PNS semua memiliki kegilaan yang sama untuk berwisata dan menjadi pemburu tiket murah.

Salah satu yang membuat kagum pada mereka, tidak perlu menunggu kaya  untuk bisa berwisata. Kuncinya disiplin. Rata-rata mereka sudah menata keuangan mereka dengan cermat, mana yang untuk keluarga, kebutuhan sehari-hari, dan tentu saja berwisata. Tidak heran minimal setahun sekali mereka akan ke luar negeri.

Saya sedikit menyayangkan kenapa Pinta tidak menuliskan berbagai kisah perjalanannya ke berbagai negara yang dilakukannya sejak tahun 2000-an untuk dimuat di media. “Ah saya tidak bisa menulis, lebih suka bercerita.”

Akhirnya saya mengajarinya menulis untuk kemudian tulisannya itu dimuat media massa. Kebetulan saja media yang membuat tulisannya adalah tempat saya bekerja. Sampai sekitar satu bulan lalu dia SMS. “Gung tulisanku yang pernah dimuat di koranmu dulu ada honornya ndak?”

“Ya jelas ada lah”
"Mau aku ambil, lagi gresek-gresek ki, untuk uang saku ke Jepang”
“Hah!?, kamu mau je Jepang”
“Iya lagi dapat tiket murah bingit, nanti aku bawakan peta sana, biar kamu nanti ke Jepang.”

Oh men, saya memandangi peta Himalaya yang diberikan Pinta. Teh yang diberikannya masih banyak dan aku simpan di toples kecil. Saya bersumpah tidak akan menghabiskan teh tersebut sebelum membelinya sendiri di kaki Himalaya sana.

Teh dari Nepal ini akan terus tersimpan sampai dapat gantinya
Teh, peta, Himalaya dan AirAsia, kelihatannya memang bukan saatnya lagi menjejak-jejak tanah. Saatnya melangkah. Jadi kapan ke Himalaya? Hmm..sepertinya Air Asia yang tahu jawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar