Sabtu, 27 September 2014

Ngomong dan Menulis Gampang Mana?




Ngomong dan menulis gampang mana?
Pertanyaan tersebut selalu saya lontarkan untuk pertamakalinya ketika diminta untuk memberikan workshop tentang menulis. Entah itu untuk kelas jurnalistik, penulisan kreatif atau kelas menulis dasar.
Lontaran pertanyaan tersebut untuk mengetahui persepsi peserta tentang menulis. Jawaban mereka seperti yang saya duga. Sebagian besar mengatakan bahwa ngomong atau berbicara lebih mudah daripada menulis.

Cerita selanjutnya adalah selama 3 menit saya meminta salah seorang yang menyatakan bahwa ngomong lebih mudah untuk berbicara apa saja. Biasanya saya beri modal satu kata. Kalau tidak sanggup cukup angkat tangan tanda menyerah. Ada yang dengan mudah melibas waktu itu dengan ngomong apapun. Namun, tidak sedikit yang berhenti di menit pertama setelah mengeja nama. 

Untuk seluruh peserta saya meminta mereka untuk menulis selama 5 menit. Tugasnya menulis apa saja. Boleh cerita terkonyol, tersedih, deskripsi kamar mereka, alasan tidak betah di rumah. Intinya cerita apa saja yang ingin mereka ungkapkan. 

Hasilnya, tulisan spontan yang mereka buat menunjukan bahwa semua bisa menulis. Semua bisa berkisah. Lepas dari masalah teknis tentang tanda baca, panjang kalimat, apa yang mereka tulis memberikan persepsi bagi siapapun yang mendengarnya.

Di kelas mengajar di sebuah perguruan tinggi di JalanMagelang, salah seorang peserta sepertinya ‘frustasi’ mendapat tugas dari saya. Dia menulis. “Siang ini adalah siang yang menyebalkan. Dosennya, namanya Mas Agung begitu masuk dan perkenalan langsung memberikan kami tugas, menulis. Saya bingung mau menulis apa. Menurut saya sih ya gampang ngomong. Jadi di siang yang panas ini saya menulis saja rasa kesal karena mendapat tugas menulis. Padahal kami belum mendapatkan materi apapun tentang menulis.....dst.”

Apa yang ditulisnya membuat kawan-kawannya tertawa. Penulisnya sendiri senyam-senyum malu. Saya katakan padanya bahwa apa yang dia tulis bisa menghibur kawan-kawannya. Selama lima menit dia menulis lebih dari 3 paragraf, lebih banyak dari kawan-kawannya. 

Masalah gampang ngomong atau gampang menulis menurut saya lebih pada persepsi saja. Keduanya sama-sama mengasyikan. Sama-sama mudahnya. Masalah benar atau salah itu relatif. Yang jelas keduanya, saling intim dan memiliki ketarkaitan satu sama lain. Menulis tanpa menyuarakan karyanya sama saja karya itu menjadi kelu. Begitu juga kalau hanya bisa ngomong, maka siap-siap saja disebut cingkimin!
Anak-anak di sebuah SD di Magelang mengikuti pelatihan menulis terkait bencana yang diselenggarakan Save The Children bekerjasama dengan kami. Tidak semua peserta berani membacakan karyanya di depan kelas. Tiga orang di dalam foto kami nilai tulisannya paling mudah dimengerti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar