Senin, 27 Oktober 2014

Siapa Kamu

Siapa kamu, aku tak mengenalmu
Wajahmu masih seperti yang dulu
Hanya menjadi palsu oleh waktu
Dibuai madu buluh bambu
Menyudahi mimpi menggapai pelangi
Mengganti  rekatan dengan sekat
Terpisah bukan semata oleh kata
Terlupa oleh cita yang terlalu menggurita
Selalu doa yang kurapal
Sebuah harapan untuk kembali mengenalmu        

Sabtu, 27 September 2014

Ngomong dan Menulis Gampang Mana?




Ngomong dan menulis gampang mana?
Pertanyaan tersebut selalu saya lontarkan untuk pertamakalinya ketika diminta untuk memberikan workshop tentang menulis. Entah itu untuk kelas jurnalistik, penulisan kreatif atau kelas menulis dasar.
Lontaran pertanyaan tersebut untuk mengetahui persepsi peserta tentang menulis. Jawaban mereka seperti yang saya duga. Sebagian besar mengatakan bahwa ngomong atau berbicara lebih mudah daripada menulis.

Cerita selanjutnya adalah selama 3 menit saya meminta salah seorang yang menyatakan bahwa ngomong lebih mudah untuk berbicara apa saja. Biasanya saya beri modal satu kata. Kalau tidak sanggup cukup angkat tangan tanda menyerah. Ada yang dengan mudah melibas waktu itu dengan ngomong apapun. Namun, tidak sedikit yang berhenti di menit pertama setelah mengeja nama. 

Untuk seluruh peserta saya meminta mereka untuk menulis selama 5 menit. Tugasnya menulis apa saja. Boleh cerita terkonyol, tersedih, deskripsi kamar mereka, alasan tidak betah di rumah. Intinya cerita apa saja yang ingin mereka ungkapkan. 

Hasilnya, tulisan spontan yang mereka buat menunjukan bahwa semua bisa menulis. Semua bisa berkisah. Lepas dari masalah teknis tentang tanda baca, panjang kalimat, apa yang mereka tulis memberikan persepsi bagi siapapun yang mendengarnya.

Di kelas mengajar di sebuah perguruan tinggi di JalanMagelang, salah seorang peserta sepertinya ‘frustasi’ mendapat tugas dari saya. Dia menulis. “Siang ini adalah siang yang menyebalkan. Dosennya, namanya Mas Agung begitu masuk dan perkenalan langsung memberikan kami tugas, menulis. Saya bingung mau menulis apa. Menurut saya sih ya gampang ngomong. Jadi di siang yang panas ini saya menulis saja rasa kesal karena mendapat tugas menulis. Padahal kami belum mendapatkan materi apapun tentang menulis.....dst.”

Apa yang ditulisnya membuat kawan-kawannya tertawa. Penulisnya sendiri senyam-senyum malu. Saya katakan padanya bahwa apa yang dia tulis bisa menghibur kawan-kawannya. Selama lima menit dia menulis lebih dari 3 paragraf, lebih banyak dari kawan-kawannya. 

Masalah gampang ngomong atau gampang menulis menurut saya lebih pada persepsi saja. Keduanya sama-sama mengasyikan. Sama-sama mudahnya. Masalah benar atau salah itu relatif. Yang jelas keduanya, saling intim dan memiliki ketarkaitan satu sama lain. Menulis tanpa menyuarakan karyanya sama saja karya itu menjadi kelu. Begitu juga kalau hanya bisa ngomong, maka siap-siap saja disebut cingkimin!
Anak-anak di sebuah SD di Magelang mengikuti pelatihan menulis terkait bencana yang diselenggarakan Save The Children bekerjasama dengan kami. Tidak semua peserta berani membacakan karyanya di depan kelas. Tiga orang di dalam foto kami nilai tulisannya paling mudah dimengerti.

Rabu, 27 Agustus 2014

Teh, Peta dan Himalaya




“INI teh dari Nepal, ditanam di kaki Himalaya dan ini peta rute trekking di Himalaya. Minum teh ini   niscaya kamu akan sampai di Himalaya hahahaha...”. Canda kawan saya, Pinta Helti suatu sore di sebuah warung kopi kawasan Prawirotaman, Yogyakarta membuat saya tersenyum kecut. Waktu itu dia baru saja melakukan perjalanan ke Himalaya tepatnya di Annapurna Base Camp atau sering disebut ABC yang memiliki ketinggian 4.130 meter. Usai naik ke salah satu puncak di Himalaya ini dia menjelajah Nepal dengan segala keeksotisannya.
Pinta Helti bersama kawannya dari Perancis saat mencapai ABC
Kami sebenarnya belum lama berkenalan. Perjumpaan sebagai peserta di Jogja International Heritage Walk (JIHW) yang membuat saya mengenalnya lebih jauh. Di kegiatan jalan kaki yang diikuti ratusan pejalan kaki dari berbagai negara ini kami sama-sama memilih jarak 20 kilometer per hari dari jarak tempuh yang ditawarkan 5 kilometer, 10 kilometer dan 20 kilometer. Artinya, karena acara itu berlangsung selama dua hari berturut-turut, kami sama-sama menempuh rute 40 kilometer. 

Awalnya, saya melihat seseorang perempuan dengan celana gunung berkantung di kanan kirinya memegang tongkat trekking, berkacamata gelap dengan rambut disemir warna merah tengah cas cis cus dengan bule di sampingnya. Mungkin kalah langkah dengan si bule yang tingginya seperti jerapah, perempuan ini kemudian  menjajari langkah saya yang jalannya seperti keong.

Kami say hello, berkenalan dan sampailah pada alasan kenapa ikut kegiatan ini. Tanpa perasaan berdosa kepada orang yang merasakan otot-oto kakinya cenat-cenut, Pinta mengatakan ikut acara itu karena sedang melemaskan otot kakinya. Dia baru naik ke kaki langit Himalaya dan menjelajah Nepal. Saat itu juga saya melotot ke arahnya. Memandang ujung dari ujung kaki hingga ujung kepala. Gila nih cewek. Serius?!
“Heeh, selama enam hari naik kemudian tiga hari turun, terus jalan-jalan di Nepal.”

Pinta di salah satu rute menuju ABC
Saya menelan ludah. Sepanjang perjalanan, ibu satu anak ini menebarkan yang namanya racun melakukan sebuah perjalanan alias backpacker. Apalagi setelah event JIHW dia membawa saya ke pertemuan Backpacker Indonesia Chapter Yogyakarta, tempatnya bergabung jadi anggota.

Mendengar presentasi anggota mereka yang baru saja pulang dari Filipina, Korea, kaki ini rasanya ingin menjejak-jejak tanah dan tangan ini memukul-mukul tembok. Kemana saja saya selama ini!!!
Memang beberapa kali saya sempat ke luar negeri, Lebanon, Malaysia, tapi itu tak jauh-jauh dari yang namanya urusan kantor. Kalaupun berwisata, segala hal waktunya diatur ketat oleh penyelenggara. Pernah suatu kali saat di Malaysia, baru saja memakai celana renang untuk mencoba sebuah pantai buatan, pengumuman agar rombongan naik ke bus sudah berbunyi.

Mendengar pengalaman berbagai anggota Backpacker Indonesia ini rasanya seperti ingin punya sayap dan terbang ke negara-negara yang pernah mereka jelajah. Cara berwisata mereka nggak mainstream, lebih tepatnya blusukan.

Ketua Backpacker Indonesia Chapter Yogyakarta Mba Indah menjelaskan bahwa backpacker itu bukan berwisata dengan cara nekat. Bagi mereka, backpacker itu adalah cara berwisata yang smart, cerdas. Merancang jauh-jauh hari negara yang akan mereka tuju menjadi kunci untuk mendapatkan tiket promo. Komunitas ini juga tidak memandang latar belakang anggotanya, mulai dari orang tua, pekerja kantoran, ibu rumah tangga, mahasiswa, PNS semua memiliki kegilaan yang sama untuk berwisata dan menjadi pemburu tiket murah.

Salah satu yang membuat kagum pada mereka, tidak perlu menunggu kaya  untuk bisa berwisata. Kuncinya disiplin. Rata-rata mereka sudah menata keuangan mereka dengan cermat, mana yang untuk keluarga, kebutuhan sehari-hari, dan tentu saja berwisata. Tidak heran minimal setahun sekali mereka akan ke luar negeri.

Saya sedikit menyayangkan kenapa Pinta tidak menuliskan berbagai kisah perjalanannya ke berbagai negara yang dilakukannya sejak tahun 2000-an untuk dimuat di media. “Ah saya tidak bisa menulis, lebih suka bercerita.”

Akhirnya saya mengajarinya menulis untuk kemudian tulisannya itu dimuat media massa. Kebetulan saja media yang membuat tulisannya adalah tempat saya bekerja. Sampai sekitar satu bulan lalu dia SMS. “Gung tulisanku yang pernah dimuat di koranmu dulu ada honornya ndak?”

“Ya jelas ada lah”
"Mau aku ambil, lagi gresek-gresek ki, untuk uang saku ke Jepang”
“Hah!?, kamu mau je Jepang”
“Iya lagi dapat tiket murah bingit, nanti aku bawakan peta sana, biar kamu nanti ke Jepang.”

Oh men, saya memandangi peta Himalaya yang diberikan Pinta. Teh yang diberikannya masih banyak dan aku simpan di toples kecil. Saya bersumpah tidak akan menghabiskan teh tersebut sebelum membelinya sendiri di kaki Himalaya sana.

Teh dari Nepal ini akan terus tersimpan sampai dapat gantinya
Teh, peta, Himalaya dan AirAsia, kelihatannya memang bukan saatnya lagi menjejak-jejak tanah. Saatnya melangkah. Jadi kapan ke Himalaya? Hmm..sepertinya Air Asia yang tahu jawabannya.

Rabu, 06 Agustus 2014

Kepadamu yang Menunggu (3)



Kepadamu yang Menunggu (3)

Rindu kita tidak akan bertemu. Kamu akan selamanya menunggu. Sudahlah lupakan aku. Buang jauh rindumu. Aku memang hanya mengujimu. Lupakan pesan rindu di suratku. 

Aku tahu begitu besar rindumu padaku. Itu menakutkan. Kamu akan mengekangku dengan perasaanmu itu.

Rindumu terlalu besar, itu bisa membunuhku, membunuhmu juga.
Ini asumsi yang diperas oleh intuisiku.


Bakarlah surat-suratku, lemparkan rindumu pada bara hingga jadi abu.

Maafkan aku, rinduku bukan untukmu.

Kepadamu yang Menunggu (2)



Kepadamu yang Menunggu (2)

Masih mau menungguku?

Sudah kukatakan bahwa aku tidak sedang mengujimu. Aku hanya ingin memperkuat rasa rindu antara kamu dan aku.

Percuma kalau kita mengulang perjumpaan menjadi sebuah rumus. Itu alasanku untuk tidak segera berjumpa denganmu. Meski dua tangan ini serasa ingin memelukmu, tapi kurelakan hanya desah keresahan yang lewat tanpamu.

Esok kita akan berjumpa

Siapkan hatimu untuk menerimaku. Jangan patahkan penasaranmu. Percaya saja bahwa rindu adalah rindu. Dia akan tetap membesar kalau dari kita saling bersabar.