Meninggalkan tempat kelahiran adalah
sebuah upaya antusias untuk menyongsong masa depan
Anak SD yang malu-malu,
itu aku 20 tahun lalu. Awalnya hanya sebuah ajakan untuk datang ke tempat
kerjamu, ketika liburan sekolah tiba. Sebagai pemegang kunci dan pak kebon, kau
bebas masuk ke ruangan manapun di SMP Pius Bakti Utama Kutoarjo, Purworejo.
Sementara kau membuatkan teh untuk guru-guru,
kau titipkan aku pada Winnetou, Tintin dan seluruh isi perpustakaan. Saat kau
menyabit rumput-rumput, kau biarkan aku kena candu dari buku-buku di
perpustakaan itu.
Anak laki-laki petakilan, kalau dimarah cuma cengar-cengir. Sawah, sungai dan karangan suwung adalah tempat mainku. Merokok adalah sedikit kenakalanku ketika itu. Ayah dan ibu tahu kelemahanku cuma satu, buku.
Ini mungkin cara mereka menghukumku. Memaksaku untuk meninggalkan Cilacap selepas SD dan mengirimkan aku ke Kutoarjo, tinggal di tempatmu. Karena mereka tahu, kau punya kunci ruang perpustakaan yang membuatku membisu dari kenakalanku.
Ketika isi perpustakaan itu aku lalap habis. Kau
tertawa melihat dahagaku. Kau buka buku-bukumu kenalkan aku pada Tan Malaka,
Soekarno dan Bung Hatta. Masih kurang? Kau berikan majalah-majalah edisi tahun
60-an, hingga tahun 90-an.
Enam tahun tinggal bersamamu belajar apa itu kesederhanaan, belajar mengolah rasa dan belajar adalah membaca, membaca adalah belajar. Maturnuwun di kotamu aku mengenal sahabat-sahabat luar biasa.
Sugeng tindak Pakde Sagino. Damai di surga.
*Tulisan ini pernah
saya muat di laman facebook ketika mendengar Pak De saya meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar