Kamis, 03 Juli 2014

Mencari Keseimbangan



Ada banyak keterkejutan peserta program #Selapandinanulisfun. Kami kaget dengan tulisan-tulisan yang tercipta. Semula tidak percaya diri dengan tulisannya, justru  muncul karya yang dengan jujur, polos, menunjukan kegembiraan dalam menulis. Namun, tidak sedikit yang terbelenggu bahwa menulis adalah pekerjaan berpikir. Tidak semua hal bisa menjadi sebuah tulisan. Atau, apa yang harus saya tulis hari ini?

Kami berembug bahwa apapun kendalanya, karya yang muncul ternyata melebihi ekspetasi kami. Sehingga Anas, salah seorang peserta mengusulkan diakhir program, semua tulisan dikumpulkan dan dibukukan untuk refleksi bersama, peserta maupun generasi berikutnya di Kaca. Rembug akrab ini kemudian juga menelurkan satu program lagi yang disebut #Pitikangrem atau 21hari Menulis. 

Disebut #Pitikangrem meminjam masa yang dibutuhkan oleh seekor ayam untuk menetaskan telur. Program ini sebenarnya kami peruntukan bagi siswa SMA yang magang sebelum resmi diterima sebagai Reporter Remaja di SKH Kedaulatan Rakyat (Rubrik Kaca). Namun ternyata program ini juga menarik hati beberapa pengurus Padakacarma yang belum sempat ikut #Selapandinanulisfun.


Ada satu ungkapan yang saya sampaikan ke kawan-kawan ketika kami bertemu untuk membicarakan program tersebut. Ungkapan sebagai penyemangat sekaligus refleksi yang kami alami.

“Kapal ini akan mencari (kesempurnaannya) keseimbangannya di lautan!”



Kalimat tegas tersebut saya kutip  dari seorang pembuat pembuat kapal bernama  As'ad Abdullah al-Madani. Beliau merupakan ahli membuat kapal tradisional dari Desa Pegerungan Kecil, di Kepulauan Kangean, Sumenep, Madura. Saya mewancarainya bertahun-tahun lalu, saat dia diminta seorang mantan angkatan laut asal Inggris bernama Philip Beale yang ingin membuat kapal tradisional seperti yang ada di relief dinding Candi Borobudur.  Veteran Angkatan Laut Inggris itu menggandeng arkeolog maritim senegaranya, Nick Burnigham, untuk membuat desain replika kapal Borobudur.
Relief kapal di dinding Candi Borobudur
Terjadi perdebatan antara As’ad dan Nick selaku orang yang mendesain kapal. Nick bersikeras cenderung marah, karena As’ad membuat kapal ukurannya tidak sama persis dengan dengan desain yang ia buat. Bahkan panjang kayu kapal ada yang tidak sama. Bahkan hebatnya, As’ad membuat kapal tanpa menggunakan hitungan njlimet. Semua dibuat dengan mengandalkan ilmu titen serta olah rasa.
As’ad sebagai orang yang berpuluh-puluh tahun membuat kapal mengatakan bahwa, kapal tersebut memang sengaja dibuat tidak seimbang, karena dia akan mencari kesempuranaanya dengan mengarungi lautan. Buktinya, kapal tersebut sukses melakukan napak tilas dari Indonesia hingga ke Afrika! Kini kapal tersebut bisa dilihat di Museum Kapal Samodraraksa di kompleks Candi Borobudur.

Pernah menonton film Krakatoa yang diproduksi BBC? Nah sebagian besar pemain film tersebut adalah orang Madagaskar, yang memiliki DNA identik dengan orang-orang Indonesia. Itu salah satu bukti Nusantara pernah berjaya di lautan. Menjadi penjelajah dunia dengan pengetahuan luar biasa.

Dari apa yang dikatakan As’ad bahwa kapal dibuat tidak sempurna karena dia akan mencari kesempurnaannya di lautan lepas. Saya menggambarkan seperti begitulah kehidupan seorang manusia. Dengan segala kekurangannya seseorang akan bertahan dan melakukan adaptasi terhadap kondisi yang ada di sekelilingnya.

Begitu juga dengan dengan program #Selapandinanulisfun. Saya merasakan bahwa 24 jam bisa jadi menjadi waktu yang sempit untuk menulis dan mengunggahnya dalam blog. Di tengah aktivitas sehari-hari kawan-kawan yang tengah menghadapi ujian akhir semester bahkan mengejar deadline skripsi, menulis menjadi tantangan tersendiri. Bahkan bagi saya yang setiap hari terbiasa menulis, bukan perkara mudah menyela pikiran maupun waktu untuk program ini.

Pernah tiba-tiba jam sebelas malam, saya terbangun dan bergegas ke warnet untuk menulis kemudian mengunggahnya. Ide tulisan sebenarnya begitu banyak meminta untuk dituliskan. Namun selalu ada alasan untuk kemudian tidak melakukan.

Ungkapan “Sebuah kapal akan mencari (kesempuranaannya) keseimbangannya di lautan!” menjadi sebuah pedoman. Bahwa sesempit apapun waktu, maka dengan sendirinya kita bisa menyesuaikan. Mau satu kata, satu kalimat, setidaknya kita seperti kapal yang mengarungi sempitnya waktu  mencari keseimbangan, begitu juga dalam kehidupan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar