Sore datang menjelang. Berada di tengah hamparan sawah.
Sendirian. Masa-masa seperti itu pernah membawaku pada pengalaman menakutkan.
Berdialog dengan sunyi. Tentang alam semesta. Tentang kehidupan sekarang dan
nanti ketika waktu mati.
Usiaku di kisaran 7-10 tahun. Mencari belut adalah hobiku.
Biasanya siang sekitar pukul 15.00 saya akan menyusuri pematang sawah. Di tengah bulak
sawah dimana yang ada hanya tanaman padi yang baru meteng –fase dimana padi ‘hamil’
atau sebelum memunculkan bulir-bulir padi muda--. Serta senja yang menukik
tenggelam. Pikiran-pikiran itu datang menyergap. Bagaimana nanti setelah aku
mati, apakah aku masuk surga atau neraka?
Seketika terlintas ramalan dalam Kitab Wahyu dalam Al Kitab.
Tentang tanda-tanda datangnya hari kiamat. Sekelebat juga terlintas tentang
kiamat menurut Al Quran. Saya masih ingat betul apa yang dikatakan pak Kayim,
seorang ustad dilanggar dekat rumah di mana saya pernah ikut mengaji. Di
neraka, orang akan ditusuk-tusuk seperti sate karena dosa-dosanya. Hiiii...bulu
kuduk meremang saat itu.
Hahahaha masa kecil saya memang random. Kakek nenek dan
keluarga besar saya adalah muslim.
Begitu juga ibu sebelum menikah dengan bapak. Bahkan ketika saya
lahirpun, suara yang mungkin saya dengar pertamakali adalah Suara Adzan dari
Pak De saya. Buku-buku yang saya baca pertamakali justru adalah kisah-kisah
Sahabat Nabi.
Kembali pada suasana hening yang sepertinya menghukum jiwa
kecil saya. Suasana yang ada entah
mengapa seperti mengajak berdialog dengan suasana sore itu. Kenapa harus ada
banyak agama? Kenapa Tuhan harus Esa? Jangan-jangan semua agama hanya menyembah
tuhan yang sama Cuma namanya beda? Jangan-jangan Yesus dan Muhammad itu
orangnya sama Cuma beda nama panggilan. Hmmm
Suasana hening di sore itu adalah hening yang ganjil.
Sebenarnya tidak hanya sore hari keganjilan itu muncul. Di pagi hari saat
berada di tengah sawah sendirian entah mengapa jantung ini juga seperti berdetak
tidak wajar. Mengedarkan pandangan menyapu sejauh pandangan saya lakukan untuk mencari teman. Mencari bantuan untuk keluar dari zona hening yang ganjil.
Nun jauh di sana, terlihat titik kecil. Aku tahu siapa
dia. Jika aku bergegas berlari di atas pematang sawah untuk mendekatinya, maka akan tampak jelas titik hitam kecil itu.
Seorang perempuan dengan tangan yang dibentuk seperti corong. Samar terdengar
suaranya memanggil. “Gung bali wis soreeeeeeeeeeeeeeeeee!” Wanita itu ibuku
yang memanggil pulang. Suaranya mengusir hening yang ganjil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar