Setengah Jiwa
INI cerita seorang temanku, tentang rasa cintanya kepada
temanku yang lain. Kawanku ini begitu tampan rupawan. Sayangnya tak punya
keberanian untuk menggali perasaan. Dia bercerita dan bertanya kepadaku. Teman
dekat dari gadis yang disukainya itu.
Apa yang kurang darinya coba. Bagi perempuan pemuja rupa,
dia itu kelasnya seperti Arjuna. Bagi pengagum otak encer, sosoknya adalah
siswa paling pintar. Bagi yang suka harta, dia adalah anak yang terlahir,
ceprooot, sudah kaya. Kurang apa?
Yang tergila-gila padanya bukannya satu atau dua. Lebih dari
itu. Selusin dara paling ayu di sekolahku adalah fans beratnya. Ibaratnya ia arahkan
telunjuk jarinya pada salah satu diantaranya. Maka sebelas gadis lainnya akan
terhempas ke tanah karena patah hatinya.
Tapi ini tidak, remaja tampan ini hanya menunduk. Bukan 12
gadis-gadis cantik itu yang membuatnya takluk. Tapi seorang gadis
biasa. Dia menyukai dia yang juga aku suka.
Sudah kukatakan, gadis itu biasa saja. Dia menggelang. Menurutmu gadis itu luar biasa, sederhana, apa adanya. Gadis itu menganggapnya pria biasa yang manja. Gadis itu nenjadikannya laki-laki biasa yang malu dipuja. Itu membuatnya tergila-gila!
Sudah kukatakan, gadis itu biasa saja. Dia menggelang. Menurutmu gadis itu luar biasa, sederhana, apa adanya. Gadis itu menganggapnya pria biasa yang manja. Gadis itu nenjadikannya laki-laki biasa yang malu dipuja. Itu membuatnya tergila-gila!
Kau bertanya,
bagaimana mendekatinya?
Aku berkata, ketampananmu, kepandaianmu dan kekayaanmu
seharusnya menjadi kepercayaan dirimu.
Kamu menjawab, aku malu. Gadis itu
menelanjangi kesombonganku dengan kesederhanaannya.
Aku tahu cara mendekatinya. Tapi aku tak mau berbagi
denganmu.
Aku yang laki-laki biasa. Bermodal cuma rasa suka dan wajah
apa adanya. Tak mungkin memberikan satu-satunya harta yang membuat gadis itu
nyaman saat kita jalan berdua.
Kawan, kamu harus tahu, aku hanya bisa membuatnya tertawa.
Itu cukup untuk memiliki setengah jiwanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar