Senin, 30 Juni 2014

Sebuah Kotak untuk Sahabat



                  SUDAH satu jam ini aku menunggumu. Aku tahu yang kamu lakukan di dalam sana. Mandi dan berdandan sesempurna mungkin. Bukan untukku.
                “Lho, belum berangkat Nak Ari?” kepala ibumu menyembul dari tirai yang memisahkah ruang tamu dan ruang depan, menyapaku heran. Satu jam yang lalu aku bertamu dan mengajak Rani untuk rapat. Tapi yang ada aku masih terpekur membaca koran. Itu satu-satunya aktivitas yang menyelamatkanku dari kebosanan.
                “Kebiasaan sik Rani, lah wong mung rapat wae kok le adus karo dandan suwe,” gerutu ibumu. Tak lama dirimu keluar, meruapkan bau wangi sambil tersenyum manis. Kau kedipkan sebelah matamu, kode untuk sebuah lakon sandiwara.
              “Bu pamit dulu, mau rapat di kampus,” bilangku di depan tirai antara ruang depan dan ruang tengah. Kulihat matamu melotot. Sebuah isyarat. “Sampai malam bu,” lanjutku.
             “Iya hati-hati nak Ari, “ tanpa membuka tirai, suara ibumu sudah terdengar jelas. Kulihat dirimu tersenyum.
Rapat berlangsung singkat. Tapi bagiku sore ini akan berjalan lambat.
            “Mau makanan apa Ri?”
            “Dia mau apa saja, asal makanan,” kalimat itu diantarakan tawa laki-laki yang memelukmu. Aku tersenyum, pura-pura asyik dengan novel pinjaman darimu.
Dibalik buku itu sudah kuselipkan belati ................(bersambung)

Minggu, 29 Juni 2014

Berganti Baju



“Lusa sudah puasa, sudahkah kalian membeli baju takwa?”
“Untuk apa?”
“Hush, dasar setan pemula. Ya untuk tobatlah, biar diampuni dosa-dosa kita setahun ini,”
“Berganti baju. Menjadi para pentobat. Berbaju gamis dengan mulut yang manis”. 


Berhentilah para setan membaca mantera sesat. Kini mereka membaca doa. Semoga dikabulkan, cuma sebulan.
Setelah itu mereka akan memakai lagi baju kebesaran untuk hidup kotor, menjadi koruptor.

Sabtu, 28 Juni 2014

Patrice



Patrice

Hari ini 28 Juni 2014, Setu Wage. Pak De begitu lemas begitu mendengar tentangmu. Pak De belum melihat wajah cantikmu.  Sedih itu pasti. Begitu besar harapan banyak orang akan kehadiranmu.  Calon cucu pertama dua keluarga. Begitulah Tuhan punya rencana. Memberikan untuk kemudian segera mengambilnya. Patrice, jiwa suci yang kembali ke ilahi. Ibumu sehat Patrice. Ada kesedihan, tapi keiklasan tetap jadi keyakinan. 

~untuk adikku Lusi~

Jumat, 27 Juni 2014

Janji Kita Angin yang Membeku, Rapuh



SUDAHLAH. Lupakan janji yang terucapkan pada saat kita berkumpul dalam percakapan di atas batu. Bukankah janji itu adalah sebuah penantian yang dibatasi oleh waktu. Kita tidak akan mampu. Sudahlah, toh saksi kita adalah batu yang membisu dan ucapan kita adalah angin yang membeku, rapuh.

Salahkan kita saja kenapa kemudian waktu terlewat seperti daun jatuh. Bukankan kita sudah menempuh janji . Masing-masing punya alasan untuk tidak menepati satu titik perjumpaan. Begitu juga aku dan kamu.

Waktumu terlalu cepat, itu katamu.

Kamu yang terlalu lambat, kataku.   

Ada banyak halangan di tengah jalan, ucapmu.

Aku harus menepi untuk menghimpun energi, sergahku.

Sudahlah, kita selalu punya alasan untuk diperdebatkan.Sama banyaknya dengan ribuan pujian yang saling kita lontarkan. Bukankan janji adalah sebuah makna  kepercayaan? Atau sekadar pencitraan tentang siapa kita, tentang kenapa kita saling mencinta.

Janji yang tak terselesaikan, mari kita rampungkan dengan kata yang tak perlu terucapkan. Biarkan batu mencatat, bahwa janji kita akhirnya membeku dan menguap karena kita percaya, waktu akhirnya akan berlalu.

Kamis, 26 Juni 2014

Percakapan Bisu (2)



Tiga tahun aku kehilanganmu. Tanpa pesan, tanpa kabar. Tidak tahukah kamu aku menahan rindu? Bahkan dalam mimpiku tak kutemukan dirimu. Tahukah engkau, suamiku mati meminum racun karena tak bisa menyentuhku. Aku mempertahankannya untukmu.

Percakapan Bisu (1)




Aku menunggumu datang dalam mimpiku. Sudah 3 tahun aku menanti. Ada yang ingin aku sampaikan. Tak perlu menungguku. Tak perlu menangisiku. Aku ingin mengatakan, 
"Jenasahku ada di bawah jurang karena didorong suamimu."