KETIKA SD saya dikenal oleh
teman-teman maupun keluarga sebagai
orang yang kalau ngomong itu cepat. Kalau diminta lambat maka akan menjadi
gagap. “Koe ngomong apa sih?” Begitu kata-kata yang terlontar ketika saya
nyerocos ngomong.
Kondisi
tersebut semakin parah ketika SMP. Akibat tidak percaya diri membuat saya tidak
banyak memiliki teman dekat ketika kelas 1. Bahkan teman satu bangku saya
adalah salah satu anak paling nakal di sekolah. Bagi dia, mungkin saya tak
lebih dari seorang badut karena dia suka dengan logat saya ngomong. Bagi saya,
berkawan dengan dia cukup menguntungkan. Saya sering bermain ke rumahnya hanya
untuk meminjam bendelan Majalah Bobo. Heran juga dia, masa sudah SMP kok
bacaannya Bobo. Ah, saya tidak peduli, yang penting saya bisa melakukan apa
yang aku senangi, membaca.
Oh ya
kelas satu SMP ini saya memiliki nama panggilan yang semakin membuat tidak
percaya diri. MEMO! Ya itu nama panggilan waktu SMP. Penyebabnya, gaya potong
rambut saya yang bergaya tentara dengan bagian jambul yang tebal, ah kalau
bingung bayangkan saja tokoh Tintin.Nah di Kecamatan Kutoarjo tepatnya di
Alun-Alun sering berkeliaran seorang anak yang tidak waras. Namanya Memo.
Sekolah kami kadangkala ketika berolahraga menggunakan Alun-Alun tersebut.
Jadilah nama Memo digunakan bukan hanya oleh teman sekelas tapi seluruh warga
sekolah.
Nama Memo
tersebut di satu sisi membuat saya tidak percaya diri, di sisi lain justru
menjadikan saya dikenal oleh semua warga sekolah. Bahkan oleh anak-anak SD yang
satu komplek dengan sekolah kami. (SMP saya merupakan sekolah yang bernaung di
bawah yang SD-SMP berada di satu kompleks).
“Awas Memo
lewat, awas ngamuk!”
Kira-kira
seperti itulah kalimat yang terlontar ketika saya lewat. Dan pada akhirnya saya
sempat ‘ngamuk’ bukan karena nama Memo, namun ketika kami bermain basket di
lapangan sekolah saya dinilai membuat masalah dengan kakak kelas. Saya sendiri
tidak tahu masalahnya, hanya saja, teman-teman saya mengatakan kalau saya
dicari oleh seorang kakak kelas yang terkenal paling nakal. Reputasinya bahkan
mentereng karena berani menantang guru berkelahi.
Saya sendiri sempat takut,
apalagi Pak De saya juga menginformasikan bahwa kakak kelas saya tersebut hampir
dikeluarkan sekolah karena kenakalannya.Teman saya
yang satu bangku, salah satu yang paling nakal di kelas satup-un, takut, bahkan
menakut-nakuti. Toh akhirnya persoalan selesai dengan sendirinya.
Kejadian
tersebut menjadi perbincangan di sekolah. Saya, Memo, anak Kelas IA berani
menantang anak kelas 2 dan 3. Padahal ya tidak begitu, wong meski belajar
beladiri, tetap saja jurus yang akan saya gunakan adalah jurus andalan lari
pergi….hahaha.
Namun sedikit
banyak kejadian tersebut membuat saya menjadi sedikit percaya diri. Lingkup
pertemanan juga juga semakin luas. Saya sering main ke rumah mereka untuk
meminjam komik, buku cerita, majalah, koran pokoknya sesuatu yang bisa saya baca.
Saya mulai
menemukan prinsip, lakukan apapun tidak usah takut. Termasuk ketika berbicara.
Kalaupun kawanmu tertawa karena logatmu, cara berbicara atau mukamu yang wagu,
anggap saja sebagai sedekah.
Mmmm
ceritanya masih panjang, dilanjut besok saja. Mmmm..kalian setuju nggak aku
pakai nama Memo lagi?
setuju mas Memo!!
BalasHapus