Lampu di Matamu
"JANGAN pulang dulu, bawa aku melewati tempat-tempat yang
merengkuh cahaya , karena disitu hatiku bisa mengadu. Aku selalu suka melihat
lampu."
Itu yang kamu katakan padaku malam itu.
Itu yang kamu katakan padaku malam itu.
Sejujurnya aku bingung dengan permintaanmu. Sejujurnya juga
aku suka dengan maumu itu. Artinya malam ini adalah malamku dan malammu. Berdua
kita menikmati waktu.
Ah, maafkan aku. Begitu sedikit referensiku tentang
tempat yang berlampu. Aku takut
mengecewakanmu. Kamu membacaku. Memberikan senyuman harapan sekaligus
mengatakannya. "Kamu tahu."
Membawamu melihat lampu di atas jembatan layang itu. Sekejap
memang, karena kau tidak mengijinkanku berhenti . Itu seperti sebuah bisikan,
bahwa tempat itu hanya memang layak dinikmati sambil lalu.
Malioboro selalu menyajikan pendar lampu dan keramaian
manusia menyantap waktu di jam-jam ini. Biarlah mereka bercakap dalam klakson
dan lisan yang tak terselesaikan. Sementara aku dan kamu, merenung diantara
warna-warni lampu reklame yang berjumpa dengan pijar dari lesehan .
Ah, aku ingat Nol Kilometer adalah tempat yang wangun
menikmati cahaya lampu. Bukan lampu itu sebenarnya yang menarik hati setiap
orang berkumpul disitu, tapi landskap dua bangunan Gedung Bank BNI dan Kantor
Pos Besar. Di situ lampu seperti angkuh karena membuat dua ikon itu menjadi
kokoh melewati waktu.
Aku ingin membawamu ke tempat sepi dimana hanya suara motor
yang kita naiki berdua dan pendar lampu yang menyirami tubuh kita di bawahnya.
Entah, apakah sepanjang JalanBhayangkara hingga Pasar Kembang itu memuaskan
dahagamu terhadap siraman cahaya lampu.
Aku berhenti melaju di Jembatan Gondolayu. Menyaksikan deret
lampu di kampung pinggir Kali Code. Ah, ternyata dirimu belum pernah menikmati lampu di tempat itu. Aku melihat matamu. Di dalamnya terlihat pendar magis yang lebih menarik dari lampu-lampu di kotaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar