Rabu, 18 Juni 2014

Ngelak Dab!!!



SORE, di Jalan Pangeran Mangkubumi, tiga belas tahun yang lalu. Saya dan Lukman, sahabat saya selesai berkeliling di pasar Klitikan. Saat itu pasar klitikan masih berada di ruas sebelah barat Jalan Pangeran Mangkubumi. Biasanya aktivitas di pasar yang juga disebut pasar maling itu dimulai pukul 18.00.
Kami memutuskan untuk makan di angkringan depan KR.  Melihat isi kantong yang tipis akhirnya kami sepakat untuk membeli satu minuman saja untuk berdua.  

Saat itu saya duduk menghadap barat, begitu juga Lukman yang berada di sebelah kiri saya. Sedangkan di kursi yang menghadap selatan duduk seorang pria usia sekitar 30-an. Kami pelan-pelan saya melahap menu nasi kucing di angkringan itu. Seperti tidak rela uang kami habis sekali telan.

Tidak lama kemudian, pria yang menghadap ke selatan meninggalkan tempat tersebut. Aku melihat pria tersebut meninggalkan gelas berisi teh anget yang masih penuh. Mungkin baru satu atau dua tegukan ia minum dari gelas itu. Aku melihat Lukman, ternyata dia juga memperhatikan gelas itu. Kita saling memandang. Aku kembali melirik gelas itu. Melihat kembali pada Lukman dan seperti ada sebuah kesepakatan. “Ambil!!”.

Aku segera mengambilnya. Aku orangnya tidak tega dengan makanan yang tersisa. Sumpah!!! Bahkan, adegan film Unyil yang aku tonton ketika waktu SD masih terbayang jelas. Saat itu Si Unyil bermimpi tentang nasi yang menangis karena tidak dimakan. Itu alasanku yang kedua. Alasan pertama ya ngelak dab, ra nduwe duit!!!

Segera aku sikat teh anget itu. Glek..glekk..glek...padang, dunia seolah terang benderang setelah minum teh anget itu. Nikmat banget. Dan ketika teh anget itu tinggal setengahnya. Dueeeeerrrrr.............orang yang punya datang dan kebingungan mencari teh angetnya.

“Loh tehku nang endi?

Deg..deg..deg, jantung ini berdetak kencang. Aku lirik Lukman, dia pun tertunduk dan terlihat menahan tawa. Aku melihat penjual angkringan dengan mata memelas. “Plisss mas jangan ngomong kalau aku yang minum...ampun mas..kula tiyang apik..ampun” kira-kira pesan itulah yang aku kirimkan ke penjual angkringan di depanku.

Rupanya dia paham.
Lah tak pikir koe ra mrene meneh, yo tak jupuk njuk tak suntak,” kata penjual angkringan itu kepada pria 30-an tahun itu.

“Walah nembe sasruputan je.” Laki-laki itu tersenyum kecut sambil memesan lagi teh anget. 

Aku dan Lukman buru-buru menyelesaikan makan. Teh anget hasil ‘rampasan’ itupun tandas. Langsung aku membayarnya, tentu saja tidak termasuk teh yang aku minum. Aku bersama Lukman segera pergi dari tempat itu.

“Dasar Gentong!!!”
Itu kata-kata Lukman selepas dari tempat itu. Ya, waktu kuliah aku memang punya nama panggilan Gentong karena hobi usilku yang suka meminum  milik teman-temanku. Hahaha...Aku tidak berharap dipanggil Gentong lagi, mending dipanggil Memo saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar