SORE, di Jalan Pangeran Mangkubumi, tiga belas tahun yang
lalu. Saya dan Lukman, sahabat saya selesai berkeliling di pasar Klitikan. Saat
itu pasar klitikan masih berada di ruas sebelah barat Jalan Pangeran
Mangkubumi. Biasanya aktivitas di pasar yang juga disebut pasar maling itu
dimulai pukul 18.00.
Kami memutuskan untuk makan di angkringan depan KR. Melihat isi kantong yang tipis akhirnya kami
sepakat untuk membeli satu minuman saja untuk berdua.
Saat itu saya duduk menghadap barat, begitu juga Lukman yang
berada di sebelah kiri saya. Sedangkan di kursi yang menghadap selatan duduk
seorang pria usia sekitar 30-an. Kami pelan-pelan saya melahap menu nasi kucing
di angkringan itu. Seperti tidak rela uang kami habis sekali telan.
Tidak lama kemudian, pria yang menghadap ke selatan
meninggalkan tempat tersebut. Aku melihat pria tersebut meninggalkan gelas
berisi teh anget yang masih penuh. Mungkin baru satu atau dua tegukan ia minum
dari gelas itu. Aku melihat Lukman, ternyata dia juga memperhatikan gelas itu.
Kita saling memandang. Aku kembali melirik gelas itu. Melihat kembali pada
Lukman dan seperti ada sebuah kesepakatan. “Ambil!!”.
Aku segera mengambilnya. Aku orangnya tidak tega dengan
makanan yang tersisa. Sumpah!!! Bahkan, adegan film Unyil yang aku tonton ketika
waktu SD masih terbayang jelas. Saat itu Si Unyil bermimpi tentang nasi yang
menangis karena tidak dimakan. Itu alasanku yang kedua. Alasan pertama ya ngelak dab, ra nduwe duit!!!
Segera aku sikat teh anget itu. Glek..glekk..glek...padang,
dunia seolah terang benderang setelah minum teh anget itu. Nikmat banget. Dan
ketika teh anget itu tinggal setengahnya. Dueeeeerrrrr.............orang yang
punya datang dan kebingungan mencari teh angetnya.
“Loh tehku nang endi?
Deg..deg..deg, jantung ini berdetak kencang. Aku lirik
Lukman, dia pun tertunduk dan terlihat menahan tawa. Aku melihat penjual
angkringan dengan mata memelas. “Plisss mas jangan ngomong kalau aku yang
minum...ampun mas..kula tiyang apik..ampun” kira-kira pesan itulah yang aku
kirimkan ke penjual angkringan di depanku.
Rupanya dia paham.
“Lah tak pikir koe ra
mrene meneh, yo tak jupuk njuk tak suntak,” kata penjual angkringan itu kepada
pria 30-an tahun itu.
“Walah nembe
sasruputan je.” Laki-laki itu tersenyum kecut sambil memesan lagi teh
anget.
Aku dan Lukman buru-buru menyelesaikan makan. Teh anget
hasil ‘rampasan’ itupun tandas. Langsung aku membayarnya, tentu saja tidak
termasuk teh yang aku minum. Aku bersama Lukman segera pergi dari tempat itu.
“Dasar Gentong!!!”
Itu kata-kata Lukman selepas dari tempat itu. Ya, waktu
kuliah aku memang punya nama panggilan Gentong karena hobi usilku yang suka
meminum milik teman-temanku.
Hahaha...Aku tidak berharap dipanggil Gentong lagi, mending dipanggil Memo
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar