SUDAH satu jam ini aku menunggumu. Aku tahu yang kamu
lakukan di dalam sana. Mandi dan berdandan sesempurna mungkin. Bukan untukku.
“Lho, belum berangkat Nak Ari?” kepala ibumu menyembul dari
tirai yang memisahkah ruang tamu dan ruang depan, menyapaku heran. Satu jam
yang lalu aku bertamu dan mengajak Rani untuk rapat. Tapi yang ada aku masih
terpekur membaca koran. Itu satu-satunya aktivitas yang menyelamatkanku dari
kebosanan.
“Kebiasaan sik Rani, lah wong mung rapat wae kok le adus
karo dandan suwe,” gerutu ibumu. Tak lama dirimu keluar, meruapkan bau wangi
sambil tersenyum manis. Kau kedipkan sebelah matamu, kode untuk sebuah lakon
sandiwara.
“Bu pamit dulu, mau rapat di kampus,” bilangku di depan
tirai antara ruang depan dan ruang tengah. Kulihat matamu melotot. Sebuah
isyarat. “Sampai malam bu,” lanjutku.
“Iya hati-hati nak Ari, “ tanpa membuka tirai, suara ibumu
sudah terdengar jelas. Kulihat dirimu tersenyum.
Rapat berlangsung singkat. Tapi bagiku sore ini akan
berjalan lambat.
“Mau makanan apa Ri?”
“Dia mau apa saja, asal makanan,” kalimat itu diantarakan
tawa laki-laki yang memelukmu. Aku tersenyum, pura-pura asyik dengan novel
pinjaman darimu.
Dibalik buku itu sudah kuselipkan belati ................(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar