Senin, 30 Juni 2014

Sebuah Kotak untuk Sahabat



                  SUDAH satu jam ini aku menunggumu. Aku tahu yang kamu lakukan di dalam sana. Mandi dan berdandan sesempurna mungkin. Bukan untukku.
                “Lho, belum berangkat Nak Ari?” kepala ibumu menyembul dari tirai yang memisahkah ruang tamu dan ruang depan, menyapaku heran. Satu jam yang lalu aku bertamu dan mengajak Rani untuk rapat. Tapi yang ada aku masih terpekur membaca koran. Itu satu-satunya aktivitas yang menyelamatkanku dari kebosanan.
                “Kebiasaan sik Rani, lah wong mung rapat wae kok le adus karo dandan suwe,” gerutu ibumu. Tak lama dirimu keluar, meruapkan bau wangi sambil tersenyum manis. Kau kedipkan sebelah matamu, kode untuk sebuah lakon sandiwara.
              “Bu pamit dulu, mau rapat di kampus,” bilangku di depan tirai antara ruang depan dan ruang tengah. Kulihat matamu melotot. Sebuah isyarat. “Sampai malam bu,” lanjutku.
             “Iya hati-hati nak Ari, “ tanpa membuka tirai, suara ibumu sudah terdengar jelas. Kulihat dirimu tersenyum.
Rapat berlangsung singkat. Tapi bagiku sore ini akan berjalan lambat.
            “Mau makanan apa Ri?”
            “Dia mau apa saja, asal makanan,” kalimat itu diantarakan tawa laki-laki yang memelukmu. Aku tersenyum, pura-pura asyik dengan novel pinjaman darimu.
Dibalik buku itu sudah kuselipkan belati ................(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar