Foto ini diambil tahun 2001, lebih dari 10 tahun lalu.
Sebuah pentas teater di Purwokerto dalam sebuah acara pertemuan pemuda di
kawasan selatan Jawa Tengah. Saya sebagai, penulis naskah, sutradara sekaligus
pemain. Bukannya kemaruk, cuma teman-teman tidak ada yang berani menjadi tokoh
utama.
Soalnya tokoh ini harus diarak dalam keranda.
Sebuah foto punya seribu cerita
Waktu itu, hampir tiga hari dalam seminggu saya bolak-balik
Jogja-Purworejo untuk melatih pemuda bermain teater. Semangat saya begitu besar
waktu itu karena pemain-pemainnya adalah pemuda dan pemudi desa Ngandagan,
Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo. Sekitar 30 kilometer dari tempat saya
menginap di kediaman Pak De saya. Soal
Ngandagan, saya baru tahu, ini adalah sebuah desa yang pernah dikunjungi Ir
Soekarno pada tahun 1947. Pernah menjadi desa percontohan diwaktu itu. Bisa
dibaca di link disini Ngandagan
.
Sebuah foto punya seribu cerita
Materi yang dibawakan adalah kisah tentang Indonesia, yang
terkoyak. Waktu pentas kelompok kami saat itu adalah tengah malam. Kami berdoa
untuk keselamatan serta agar penampilan
berjalan lancar. Tidak ada target menjadi juara. Kami ingin menikmati apa yang
sudah kami latih berhari-hari.
Ribuan orang akan menonton kami. Ada keraguan di wajah
kawan-kawan. Bahkan seorang pemain laki-laki enggan membuka bajunya karena
takut dan malu, bagian tubuhnya yang mengalami kekurangan akan dilihat oleh
banyak orang. Oke. Aku mengijinkannya menjadi satu-satunya pemeran cowok yang
tidak bertelanjang dada.
Sebuah foto punya seribu cerita
Tepat tengah malam.
Pertunjukan dimulai. Kami sengaja muncul dari belakang penonton. Gadis-gadis
muda berwajah putih menjadi pembuka pembawa keranda. Mereka membawa bokor
berisi bunga yang disebar sepanjang perjalanan menuju panggung. Di dalam
keranda suara erangan kesakitan membuat keranda bergetar.
Aku bisa melihat reaksi penonton dari balik keranda. Jeritan
orang yang kemudian berhamburan menjauhi keranda membuat adrenalin kami semakin
naik. Tengah malam keranda diusung
dengan taburan bunga ke arah penotnon. Sebuah horor yang tidak dibayangkan, mengingat
penampilan tim lain sebagian besar adalah band.
Satu foto punya seribu cerita
Di atas panggung kami sudah ditunggu oleh orang-orang yang
merongrong Indonesia. Mereka menghajar kami, melemparkan keranda dimana saya
benar-benar mengerang karena sakitnya dibanting. Perjanjiannya adalah boleh
memukul asal jangan kepala. Alat pemukulnya adalah bambu muda yang kulit
luarnya sudah dikupas. Ini teknik yang saya tiru saat saya melihat ayah bermian
ketoprak dan dipukuli oleh lawannya.
Begitu keluar dari keranda, sambutan pukulan tak henti
dilawan. Namanya saja bersemangat, kepala sayapun dihajar dengan batang bambu.
Tidak sakit, tapi sakit banget. Saya melawan, mempertahankan merah putih yang
menyelubungi keranda. Saya menangis, membacakan sajak tentang Indonesia.
Tentang Bhineka Tunggal Ika yang terancam. Hening. Itu ending.
Hanya tangis dan tawa para pemain yang pecah di ruang ganti.
Kami bahagia.
Sebuah foto punya seribu cerita.
Ini hanya sedikit dari cerita tentang keranda. Belum tentang
sakit t misterius yang saya terima setelahnya.

Sangar banget Mas! Apik :D
BalasHapus