Rabu, 25 Juni 2014

Sebuah Foto Seribu Cerita



Foto ini diambil tahun 2001, lebih dari 10 tahun lalu. Sebuah pentas teater di Purwokerto dalam sebuah acara pertemuan pemuda di kawasan selatan Jawa Tengah. Saya sebagai, penulis naskah, sutradara sekaligus pemain. Bukannya kemaruk, cuma teman-teman tidak ada yang berani menjadi tokoh utama. 
 Soalnya tokoh ini harus diarak dalam keranda.

Sebuah foto punya seribu cerita

Waktu itu, hampir tiga hari dalam seminggu saya bolak-balik Jogja-Purworejo untuk melatih pemuda bermain teater. Semangat saya begitu besar waktu itu karena pemain-pemainnya adalah pemuda dan pemudi desa Ngandagan, Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo. Sekitar 30 kilometer dari tempat saya menginap di kediaman Pak De saya.  Soal Ngandagan, saya baru tahu, ini adalah sebuah desa yang pernah dikunjungi Ir Soekarno pada tahun 1947. Pernah menjadi desa percontohan diwaktu itu. Bisa dibaca di link disini Ngandagan

Sebuah foto punya seribu cerita

Materi yang dibawakan adalah kisah tentang Indonesia, yang terkoyak. Waktu pentas kelompok kami saat itu adalah tengah malam. Kami berdoa untuk keselamatan  serta agar penampilan berjalan lancar. Tidak ada target menjadi juara. Kami ingin menikmati apa yang sudah kami latih berhari-hari.  
Ribuan orang akan menonton kami. Ada keraguan di wajah kawan-kawan. Bahkan seorang pemain laki-laki enggan membuka bajunya karena takut dan malu, bagian tubuhnya yang mengalami kekurangan akan dilihat oleh banyak orang. Oke. Aku mengijinkannya menjadi satu-satunya pemeran cowok yang tidak bertelanjang dada.

Sebuah foto punya seribu cerita

Tepat tengah malam. Pertunjukan dimulai. Kami sengaja muncul dari belakang penonton. Gadis-gadis muda berwajah putih menjadi pembuka pembawa keranda. Mereka membawa bokor berisi bunga yang disebar sepanjang perjalanan menuju panggung. Di dalam keranda suara erangan kesakitan membuat keranda bergetar.
Aku bisa melihat reaksi penonton dari balik keranda. Jeritan orang yang kemudian berhamburan menjauhi keranda membuat adrenalin kami semakin naik.  Tengah malam keranda diusung dengan taburan bunga ke arah penotnon. Sebuah horor yang tidak dibayangkan, mengingat penampilan tim lain sebagian besar adalah band.

Satu foto punya seribu cerita

Di atas panggung kami sudah ditunggu oleh orang-orang yang merongrong Indonesia. Mereka menghajar kami, melemparkan keranda dimana saya benar-benar mengerang karena sakitnya dibanting. Perjanjiannya adalah boleh memukul asal jangan kepala. Alat pemukulnya adalah bambu muda yang kulit luarnya sudah dikupas. Ini teknik yang saya tiru saat saya melihat ayah bermian ketoprak dan dipukuli oleh lawannya. 
Begitu keluar dari keranda, sambutan pukulan tak henti dilawan. Namanya saja bersemangat, kepala sayapun dihajar dengan batang bambu. Tidak sakit, tapi sakit banget. Saya melawan, mempertahankan merah putih yang menyelubungi keranda. Saya menangis, membacakan sajak tentang Indonesia. Tentang Bhineka Tunggal Ika yang terancam. Hening. Itu ending.

Hanya tangis dan tawa para pemain yang pecah di ruang ganti. Kami bahagia.

Sebuah foto punya seribu cerita.

Ini hanya sedikit dari cerita tentang keranda. Belum tentang sakit t misterius yang saya terima setelahnya.


1 komentar: